Dewi Naga Selatan
Menjadi Lakon Tanah Jawa
Pemandangan sawah yang menghijau begitu luas tak berbatas telah mengingatkan aku pada perjalanan yang panjang menapaki hidup di dunia ini. Namaku Andini Rohmah yang sebelumnya aku telah menceritakan fenomena nyata tentang diriku. Terlahir ke dunia sebagai anak manusia yang sebenarnya aku berasal dari negeri gaib keluarga Kerajaan Laut Selatan yang bertahta nenekku sendiri Dewi Naga Selatan.
Pada tulisan ini aku ingin memberikan penjelasan kepada semua orang agar tidak salah persepsi dengan sepak terjangkau dikancah dunia spiritual di tanah Jawa bersama suamiku tercinta Sabilal Rasyad Bin Mughni yang keturunan asli dari Sunan Gunung Jati. Kami hanyalah hamba Allah yang terjun langsung ke masyarakat untuk membantu sesama manusia dengan ikhlas dan memperkuat tali sialturahmi sesama umat Islam serta membenarkan Alqur’an dan Hadits.
Bahwa kami dengan keterangan (cerita) ini tidak meminta pamor ataupun sejumlah khalayak untuk menjadi jamah, namun kami justru hanya ingin berdialog dan bersilaturahmi dengan siapapun mengenai kebenaran cerita ini. Bukankah menurut hadits bahwa menuntut ilmu itu wajib sampai kita dijemput ajal ? Dan patut diingat agar sebelum wafat kita harus mencari Hidayah Allah SWT dan menemukan jalan khusnul khotimah. Banyak orang dengan topeng kebenaran padahal mengajak kepada kesesatan yang nyata, itulah tipu daya Iblis berpakaian “kebaikan”. Naudzu billahi mindzalik. Sepatutnyalah kita tidak merasa saling benar diantara umat yang lain, karena kebenaran itu datangnya dari Allah SWT. Jika telah menyimpang dari Alqur’an dan Hadits niscaya kebenaran itu hanyalah topeng dunia belaka. Istilah dalam ilmu Fiqih itu disebut Bid’ah.
Untuk meluruskan persepsi yang mana nasab Dewi Naga Selatan (Ratu Kidul) dan mana yang Nasab Gunung Jati sebenar-benarnya.
Berawal dari perjalanan spiritual kami dari paling Barat Jawa yaitu Banten sampai ke Timur Jawa yaitu Pulau Lombok. Kami menziarahi dan menapak tilas sejumlah pelakon (tokoh) penyiar agama Islam dan para Waliyullah serta para tokoh yang berjuang untuk menanamkan kehidupan Islami bagi masyarakat di Tanah Jawa dan Pulau Lombok. Pada kisah sebelumnya yang berjudul “Andini Kencana Rara Sati” putri dari Laut Naga Selatan, maka kami merasa perlu untuk memaparkan para tokoh legendaris Tanah Jawa yang berada dibelakang (pendorong kekuatan) kami terutama guru kami yang masih merupakan titisan Nabi Khidir AS yakni Syeikh Haji Mahfudin Bin Carban.
Pertemuan dengan Waliyullah Tanah Jawa Generasi Terakhir
Saat-saat terakhir kami ingin menutup perjalanan napak tilas para waliyullah di Tanah Jawa akan kami selesaikan, akhirnya kami sampailah berziarah di suatu makam di Kabupaten Karawang yakni Syeikh Quratul’ain (Syeikh Datul Qubro) kami mendapat ilham yang intinya agar kami berguru kepada Syeikh Haji Mahfudin yang merupakan satu generasi waliyullah yang masih hidup serta akan mengajarkan ilmu agama (Islam). Secara mendetail akan aku menceritakan bagian ini yang sebelumnya ada baiknya aku mengisahkan sejarah hidup dan nasab (silsilah) guru kami tersebut yang umurnya mencapai 125 tahunan.
Saat pertama mobil kami meluncur ke sebuah desa yang menuju ke tempat tinggalnya seorang kakek titisan wali tersebut, tubuh kami serasa ringan bagaikan melesat dengan kencang tanpa hambatan. Begitu memasuki pekarangannya yang luas dan sederhana kami tergagap, sebab bukanlah pesantren atau padepokan persilatan yang kami jumpai melainkan beberapa blok rumah milik satu keluarga besar dengan kondisi cukup sederhana nan asri dan ditengahnya terdapat sebuah tajuk (musholla) dengan bangunan permanent berarsitektur kuno. Yang menarik bagi kami adalah rumah kediaman milik Syeikh Haji Mahfudin (Abah Haji) seperti berkemilau cahaya putih dan seakan-akan terlihat bagaikan bahtera yang mengapung di atas lautan luas.
Abah Haji Mahfudin kemudian menatap kami lekat-lekat langkah kedatangan kami dan berkata, “kalianlah yang aku tunggu selama puluhan tahun yang silam”. Singkat cerita kami memahami maksud beliau bahwa kami diturunkan ilmunya para waliyullah. Jadi jelas bahwa sang cucu asli Dewi Naga Selatan atau Ratu Kidul (Andini) yang bukan merupakan ruh manusia yang harus tunduk kepada pada aturan agama islam, bukan sebaliknya manusia yang tunduk kepada makhluk gaib.
Padahal sudah banyak umat yang kita lihat saat ini malah berbangga katanya kalau memiliki ilmu karena berguru ke pegunungan, hutan, dan kuburan tempat bersemayamnya makhluk gaib Siluman. Oleh karenanya saya tekankan lagi bahwa lakon kami ini adalah untuk membalik fenomena ini agar umat kembali memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang paling mulia sebagai khalifah untuk mensejahterahkan kehidupan di dunia dan akhirat kelak.
Aku sendiri merasa bahwa nenekku Dewi Naga Selatan beberapa kali telah mengingatkan bahwa kelak nanti aku akan disandingkan dengan keturunan wali untuk membawa Syiar Agama Islam terutama Anar Makruf Nahi Munkar, dan bukannya sebaliknya memperkenalkan ilmunya Ratu Kidul kepada masyarakat. Artinya bahwa aku sendiri yang merupakan keturunan Jin dari Ratu Kidul saja mau tunduk kepada ajarannya para Waliyullah, lalu mengapa umat yang cuma merupakan keturunan siluman merkayangan yang tidak jelas silsilahnya malah berbangga dengan ilmu spiritual dari kalangan bangsa siluman ?
Abah Haji Mahfudin sangat menyayangi kami dan mengajari kami ilmu para wali yaitu : ilmu Syariat, Thorekat,Hakekat, dan Makrifat. Ilmu-ilmu tersebut merupakan pondasi yang kuat bagi untuk mendapatkan ilmu pengobatan spiritual bertaraf tinggi. Singkat cerita akhirnya jadilah kami murid yang diundangnya setiap minggu untuk mengikuti pengajiannya bersama satu santrinya sebagai penulis kitab. Yang kami ketahui bahwa Abah Haji tidak pernah menerima murid utama lebih dari satu orang karena ia selalu memeriksa silsilah orang yang ingin berguru kepadanya, dan jika tidak jelas asal usul nasabnya maka orang yang ingin menjadi murid tersebut harus pulang kampung. Pengajian ke rumah Abah Haji akhirnya kami lakukan rutin setiap minggu tiga hari dengan menginap. Dengan demikian kami sebagai murid telah dianggap keluarganya sendiri.
Sekilas Andini Rohmah mencari jati diri.
Mula-mulanya Andini dikasih tahu oleh temannya bahwa Andini bukan manusia biasa. Ia berkata deikian karena pernah menanyakan kepada gurunya di sebuah gunung terpencil di Tasikmalaya perihal Andini temannya yang bisa melihat alam gaib. Berdasrkan informasi itu Andini menjadi penasaran dan ingin pula mencari tahu siapa dirinya.
Suatu saat pacarnya semasa SMA datang lagi setelah lama tak bertemu dan mengatakan bahwa kakaknya bisa tahu melihat dari foto saja. Maka Andini menyuruh Rasyad pacarnya di SMA itu untuk menanyakan kepada kakaknya yang di Indramayu siapa diri Andini yang sebenarnya. Setelah berada disana, Rasyad keesokan harinya telepon dan mengatakan bahwa memang Andini adalah titisan Roro Kidul!
Akan tetapi waktu itu belum terlalu jelas titisan itu yang bagaimana, apa yang dititipkan ilmunya atau dikeluarkan di dunia seutuhnya.
Andini masih bingung. Dan atas saran kakaknya Rasyad bahwa Andini diperjodohkan, akhirnya tahun 1999, Andini dan Rasyad menikah. Karena keingintahuan yang besar, Andini bersama suaminya Rasyad berkeliling di
Oleh karena tidak puas, maka mereka berniat langsung bertanya ke para penghuni gaib di tempat keramat (karomah). Mereka kemudia pergi perjalanan ke Jawa ke makam-makam para wali dan syaikh hingga sampai di
Tetapi pada saat bernapak tilas di Cipunegara, ada kuncen yang mengatakan bahwa Andini dipanggil oleh Ibu Ratu disuruh ke Sukabumi. Kebetulan pada waktu itu, Andini dan Rasyad berangkat untuk mengambil bahan dagangan seperti sayuran, cabe dan lain-lain bukan untuk menemui Ibu Ratu gaib yang dikatakan kuncen tadi. Akan tetapi didesak oleh penasaran akhirnya Andini dan Rasyad mengajak Kakaknya Rasyad bernama Ayu dan dua orang temannya Rasyad Aziz dan Zain.
Keesokan harinya Andini pergi ke Sukabumi, mereka berlima. Sampai di Sukabumi, di makam Ratu Kidul, Andini menanyakan dalam hati; “Nenek Ratu, apabila saya ini keturunanmu buktikan dan tunjukkan siapa saya yang sebenarnya”.
Empat orang lainnya hanya memandang Andini menangis dan merapatkan kedua tangannya seraya bagaikan berbicara dengan orang lain. Mereka tidak melihat apapun kecuali Ibu Ayu yang sejak tadi merasakan ada hawa lain yang datang ke situ.
Ditanya demikian Sang Ratu hanya diam saja sambil tersenyum.
Tiga kali bertanya dalam batin, Andini akhirnya memberi isyarat kepada yang lainnya untuk meninggalkan tempat itu. Kemudian pulang dengan seribu pertanyaan yang belum terjawab.
Dalam dialog tadi juga Andini menanyakan mengapa ia sampai umur 15 tahun setiap bulan Purnama dijemput dan bertemu Sang Ratu di Istana Laut Selatan tetapi kini tidak pernah lagi pengalaman itu.
Seminggu kemudian setelah dari makam (petilasan) Ratu Kidul di Sukabumi, tiba-tiba rumah Andini di Slipi diketuk. Karena Andini tertidur larut malam, hanya ia yang sempat membukakan pintu. Tetapi tidak ada orang di luar
Lalu Andini tertidur, tanpa memikirkan apa yang telah terjadi tadi. Di dalam tidur yang melelahkan itu Andini bermimpi di datangi dayang-dayang cantik dan para pengawal tampan. Salah satu dayang terlihat seperti orang yang dikenal Andini. Tapi dimana ketemunya? Tanya Andini dalam hati.
Pagi-pagi sekali jam 5.00 subuh, mereka bergegas untuk mandi, langsung makan, shalat Subuh lalu beres-beres. Pagi-pagi buta disaat semua penduduk masih terlelap, mereka berangkat. Perjalanan yang ditempuh selama 7 jam dengan rute jakarta lewat jalan Raya Bogor dan Ciawi. Sesampai di lokasi petilasan Ratu menjelang siang. Lalu Andini bergegas mendatangi makamnya.
Andini berdoa kepada Allah SWT agar kali ini ada isyarat kebenaran. Tidak berapa lama kemudian ketika menjelang senja Nenek Ratu datang. Seperti biasa, Andini dengan memelas meminta jawaban lagi kepada Nenek Ratu.
”Nenek Ratu, saya masih ingat utusan kerajaan tadi malam datang membawa kabar, apakah benar saya ini adalah keturunanmu, kalau benar tolong buktikan dan tunjukkan kalau saya ini adalah titisanmu. Saya memohon nenek (ucapan diulang sampai tiga kali berturut-turut)”.
Dengan penuh wibawa Nenek Ratu berkata, ”Pergilah Nak Dini ke Karawang, ketempat Makam Syeikh Quro, dimana nanti disanalah Nak Dini mendapatkan semua jawaban yang Nak Dini inginkan. Engkau sudah tidak sabar lagi, maka pergilah segera”.
Andini balik bertanya lagi, ”nenek kenapa musti kesana? Dan kenapa tidak Nenek Ratu saja yang mengatakan sekarang?”.
Nenek Ratu menjawab, ”Tidak karena ini adalah peraturan yang telah ditetapkan bersama duhulu. Sudah pergilah kesana!
Andini hanya terdiam sejenak. Lalu mengatakan, “Ya baiklah nenek Ratu, saya akan pamit kalau begitu”.
“Nah Jaga dirimu baik-baik dan hati-hati di jalan! Nenek memerintahkan pasukan naga kecil untukmu selamanya dimulai dari sekarang”.
Hanya satu tepukan saja munculah pasukan naga kecil berpakaian emas dan perak. “Perkenalkan pasukan khusus yang puteri dan putera nama mereka adalah Andana-Andini”, nenek Ratu menegaskan kembali.
“Baiklah Nenek Ratu terima kasih atas keterangannya. Besok Andini akan ke Karawang mencari jawaban selanjutnya disana”.
Setelah itu Andini dan Rasyad pamit pulang dari hadapan sag Ratu. Hari itu sudah magrib mereka bertolak ke
“ya sudah kalau begitu besok kita kesana saja. O ya Dini tahu tidak makam Syeikh Quro dimana?”, tanya Rasyad suaminya
“Tidak tahu”, jawab Andini tegas.
“Ya, sudahlah besok saja kita kesana, tanya-tanya di jalan”.
Jalur jalan yang Andini pilih lewat Bogor dan selatan Jakarta. Hal ini karena mereka sudah dalam kondisi letih. Kalau lewat jalan Tol tidak ada perhentian. Anehnya perjalan pulang menjadi lancar tanpa hambatan. Tak terasa dalam perjalanan pulang ke Jakarta, mereka berhenti di lampu merah tepat jam 19.00 malam, di daerah kawasan Pondok Indah.
Dalam barisan itu mobil kami yang paling jelek. Mobil Toko (Moko) namanya. Ya mobil yang dikhususkan untuk berdagang. Melihat disekeliling banyak mobil-mobil mewah dan bagus-bagus. Tiba-tiba datang pengemis tua membawa gembolan dan berbaju hitam. Anehnya pengemis itu hanya mendatangi Mobil yang ditumpangi Andini dan suaminya.
”Dini kamu punya uang berapa?”.
”Ada tinggal 1.500 rupiah di dompet”.
“Ya, sudah kasih saja 1.000 rupiah”.
“tidak ah, Andini mau berikan semuanya”.
Setelah mereka berikan, pengemis tua itu menatap tajam ke arah mereka berdua tanpa bicara sepatah katapun. Lalu pengemis tua itu pergi.
Tiba-tiba Rasyad berkata, ”Dini coba lihat ke belakang kok pengemis tua itu tidak meminta kepada orang lain hanya menghampiri kita saja”.
Andini menoleh kebelakang, secepat itu pula pengemis tua itu menghilang. Ternyata pengemis itu sudah tidak ada lagi.
Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan pulang serta bertanya-tanya siapakah pengemis tua itu?
Konon katanya itu biasanya adalah Nabi Khidir AS yang suka menjelma menjadi pengemis. Kami hanya diam dan bertanya-tanya dalam hati. Ada apa sebenarnya? Apakah kami akan mendapatkan peristiwa yang tidak kami ketahui? Suatu tanda tanya tersendiri di dalam hati.
Akan tetapi akhirnya Andini berpikir untuk apa dipikirkan nanti malah tambah pusing sendiri. Yang ada di dalam pikiran Andini adalah besok kemakamnya Syeikh Quro untuk mendapatkan keterangan siapa sebenarya diri Andini. Begitu sampai di rumah Slipi sudah jam 21.00 malam. Andini dan suaminya berbicara dengan anggota keluarga akan keberangkatannya ke Karawang.
Keesokan harinya, mereka siap-siap mau pergi. Shalat subuh dan makan pagi terlebih dahulu. Diperjalanan mereka mampir ke bank untuk mengambil uang tambahan karena perjalan cukup jauh. Jalur yang dipilih adalah Karawang Barat melewati Tol Cikampek Jakarta. Setelah melihat papan petunjuk jalan keluar dari tol Karawang Barat, mereka meneruskan perjalanan ke kota Karawang. Sesampainya di pertigaan jalan besar, mereka bingung kemana arah menuju makam Syeikh Quro itu.
Sambil melepas lelah, mereka berhenti sebentar bertanya kepada orang-orang di sekitar situ.
”Mereka mengatakan bahwa Bapak belok kiri setelah lampu merah lalu terus saja. Nanti disana Bapak tanya lagi”, jawab seorang pengojek.
Setelah dilanjutkan perjalanan tanpa sadar mereka membaca nama jalan yang terpampang yang kebetulan bernama Jl. Syeikh Quro. Mobil merapat ke arah khalayak berkumpul di sisi jalan. Andii membuka kaca mobil dan bertanya, ”Pak maaf, dimanakah makan Syeikh Quro perjalanan dari sini?”
”Oh ya disana, ibu terus saja nanti di depan sebelah kiri jalan ada papan nama makam Syeikh Quro”.
Sesampainya di papan petunjuk makam Syekh Quro, mereka berhenti. Di sana terdapat perkampungan kecil, tetapi belum juga terlihat tempat makam itu. Setelah bertanya sedikit maka diberikan petunjuk kepada mereka agar berbelok dari pertigaan lalu ke kiri.
Perjalanan sampai ke makam Syeikh Quro kurang lebih 3 kilometer. Begitu sampai di makam Syeikh Quro, mereka parkir mobil dan masuk. Andini dan Rasyad bergegas mendekati makam itu.
Andini dengan berdebar debar berbicara membatin, ”Assalamualaikum Eyang Syeikh Quro, saya Andini utusan nenek Ratu Kidul”. (Andini membatin sambil menangis)
”Eyang Syeikh Quro datanglah, aku ingin bicara dengan Eyang. Kata Nenek Ratu saya disuruh bertemu dengan Syeikh Quro. Katanya mencari jawaban yang ada disini. Dengan memohon saya meminta datanglah kepada Dini yang ingin mengetahui jawaban ini”.
Satu jam Andini dan Rasyad tak bergeming dan tetapmenunggu. Tidak lama kemudian datang juga Syeikh Quro dengan hawa angin bertiup kencang.
“Andini, Eyang telah mendengar permintaan mu, maka temuilah seseorang Arif di daerah Tegal Koneng, karena dia salah satu wali yang masih hidup dan dialah yang nantinya akan memberitahumu secara jasad. Namanya Syekh Haji Mahfudin”.
“Ya, Eyang terima kasih. Eyang, kami pergi dulu”
“jaga dirimu baik-baik ya! (kemudian kabut gaib menyelubungi Syekh Quro dan menghilang dari pandangan batin Andini)
Setelah mendapat isyarat itu, Andini menggamit tangan suaminya Rasyad untuk langsung menuju Desa Tegal Koneng, yang menurut penduduk sekitar sudah tidak jauh dari sini.
Tidak jauh dari situ, kemudian ada salah satu kuncen mendatangi mereka berdua. Orang itu menyebutkan namanya.
”perkenalkan Saya adalah Pak Thamrin. Semalam saya di datangi oleh bapak saya. Yang dulu juga kuncen makam Syeikh Quro. Beliau mengatakan besok ada tamu agung dari Jakarta, tolong sambut mereka. Dan tolong kasih tahu dimana tempat tinggalnya H. Mahfudin”.
”ya pak benar kami orangnya”, jawab Rasyad.
”Maaf Pak, perjalanan kesana sangat gelap karena tempatnya terpencil. Bisa sampai 2 atau 3 jam ke Tegal Koneng”.
Mendapat informasi demikian, akhirnya Andini dan Rasyad memutuskan besok pagi kembali lagi ke Karawang karena hari sudah menjelang magrib.
Dini hari mereka bangun. Setelah Shalat Subuh. Andini mengaji dengan alunan suara perlahan. Rasyad sibuk mencuci mobil. Tampaknya hari ini mereka tidak terburu-buru, karena sudah mendapat suatu petunjuk jalan terang. Baru pukul sembilan mereka pamit kepada keluarga utuk berangkat. Sampai di Karawang, mereka langsung mengarah ke makam Syeikh Quro tepat jam 12.00 siang. Di makam Syeikh Quro, Andinii dan Rasyad mendoakan dan mengenang jasa-jasa beliau karena telah mengajarkan agama Islam di tanah Jawa.
Setelah itu sekitar jam 12.30, mereka berangkat ke Tegal Koneng. Pak Thamrin sang kuncen memberikan secarik kertas berupa denah (peta) dan alamat ke kampung Patok Beusi, Desa Tegal Koneng tempat tinggal H. Mahfudin. Mereka mengucapkan kepada Pak Thamrin yang sudah membantu dalam mengarahkan petunjuk menemukan guru sejati mereka.
Andini kembali diIslamkan oleh Guru Sejati
Benar memang perjalanan ke Tegal koneng I melewati jalan setapak satu mobil. Jalan itu berupa tanah keras. Angkutan masyarakat pedalaman itu adalah ojek dan gerobak. Diantara mobil-mobil mewah yang lalu lalang adalah pelat nomor B, orang Jakarta. Mereka tentunya juga mendatangi ke tempat H. Mahfudin. Mobil angkutan desa juga terlihat sesekali, bahkan bukan untuk mengangkut orang melainkan hasil bumi.
Dalam perjalanan ke tempat H. Mahfudin, di sepanjang jalan terlihat di kanan-kiri ada sawah. Tanah keras sebagai jalan mobil seperti ini rasanya pernah dilalui Andini. Sejenak ia katakan hal itu pada Rasyad suaminya. Namun kira-kira dimana ya? (tanya Andini membatin dalam hati).
Sebelum sampai ke tempat H. Mahfudin perasaan Andini tidak karuan, bergetar tak menentu karena ada perasaaan bingung dan takut serta bercampur aduk haru dan gembira. Ternyata benar memang perjalanan dari depan jalan raya sampai ke tempat H. Mahfudin di Tegal Koneng II, berjarak kurang lebih 5 kilometer sesuai dengan kata Pak Thamrin.
H. Mahfudin alias Warta terpampang di sebuah papan petunjuk. Akhirnya, mereka sampai juga di depan rumahnya. Rumah itu sederhana dengan halaman yang luas terbentang dan di dalamnya ada beberapa rumah dan terdapat mushola tua di tengah-tengahnya. Kemungkinan beberapa rumah yang ada itu merupakan sanak famili H. Mahfudin.
Setelah mobil diparkirkan ke dalam halaman, ada seorang ibu menghampiri kami sambil tersenyum. Dibelakangnya kelompok ibu-ibu sedang berkumpul dan duduk-duduk di bale beralas tikar bambu.
Andini membuka pertanyaan, ”Apa betul ini rumah Bapak H. Mahfudin?”
”Oh, Abah Haji Mahfudin, iya betul”, jawab ibu itu.
”Nok ini teng pundi je?”, Ibu itu menjawab dengan logat Cirebonnya. (maksudnya: nona dari mana ?)
Andini menjawab, ”Saya Dini dan ini Rasyad suami saya mau bertemu dari dengan Bapak H. Mahfudin. Saya disuruh kesini mencari Bapak H. Mahfudin. Kami dari Jakarta”.
”Oh gitu, ya nok ini dari Jakarta ya?”, dia meminta penegasan.
Andini mengangguk.
”Oh jauh je”, jawabnya lagi.
”Iya jauh Jakarta”, Andini menegaskan.
Kemudian salah seorang wanita baya masuk ke dalam dan terdengar memanggil kata abah........abah....
”Abah enek uwong Jakarta. Tiang loro, Jenenge Dini karo Rasyad”.
Kemudian keluarah pria yang sangat tua bertubuh kecil dan tegap menggunakan tongkat. ”Sopo nok sing teka?”, tanya kakek itu.
”Dini karo Rasyad teng Jakarta je”, jawab wanita baya itu (kemungkinan putrinya kakek itu).
”Ya wis, dodok ning kana”, ujar sang kakek. (maksudnya: ya sudah duduklah di situ).
Tak lama kemudian Bapak H. Mahfudin keluar dari rumah sebelah kiri dan menghampiri kami. (katanya rumah ini dua blok. Ruang tamu tempat kami duduk adalah tempat istirahat kakek itu, sedangkan rumah sebelahnya adalah tempat praktek pengobatan, pengajian, dan ruang belajar Al Quran. Di depan ruang tamu ini ada bale besar tempat duduk berkumpulnya keluarga kakek. Pada rumah sebelahnya ada banyak kursi berderet untuk tempat menunggu pasien.)
Begitu bertemu muka langsung berkata, ”Nah ini dia anak yang saya tunggu-tunggu 50 tahun yang lalu”.
Andini sempat terkejut beberapa saat sekaligus bingung. (kok bisa menunggu saya 50 tahun yang lalu padahal belum lahir ke dunia. Lalu berarti kakek ini sudah berusia dia atas seratus. Andini membatin)
Kemudian Andini membuka pembicaraan, ”Abah bukannya saya masih berusia 34 tahun sekarang. Mana mungkin abah haji menunggu saya selama itu?”.
Bapak H. Mahfudin hanya menggeleng dan tersenyum. Kemudian beliau mempersilahkan Andini dan Rasyad mengikutinya ke rumah sebelah tempat prakteknya. Sementara ibu-ibu yang di depan tadi sibuk mempersiapkan makanan dan minuman di dapur.
Di ruang prakteknya Abah H. Mahfudin. Menceritakan bahwa dia mendapat tugas menunggu tamunya yang dihadapi sekarang dalam waktu 50 tahun. Beliau memperkirakan usianya kurang lebih 125 tahun sekarang. Begitu duduk di kursi prakteknya Bapak H. Mahfudin, beliau langsung marah-marah dengan bahasa Indonesia (Betawi).
“Eh kamu ngapain kamu ikut-ikut Dini. keluar kamu! Jangan ganggu dia lagi.”, kata Abah.
Andini bingung tertegun. Kemudian Abah H. Mahfudin memperlihatkan gambar perempuan cantik ke Arab-araban (sobekan kalender).
”Inikan Dini yang selama ini yang sering datang ke kamu nok”. ”Iya Bah”, Dini sering lihat dia Bah. (mungkin dayang-dayang dari alam gaib mengikuti).
Dengan menginjak-injak gambar tadi, kemudian Abah H. Mahfudin mengatakan mengangkat Dini menjadi anaknya.
”Nok maukah kamu di Islamkan kembali sukmamu?”.
Andini mengangguk tanda mengiyakan saja. (mungkin karena dalam keadaan bingung)
Kemudian Anini disuruh membaca Bismillahirohmanirohim sampai 12 kali. Abah H. Mahfudin terlihat mengitari Andini sambil manggut-manggut.
Setelah Andini disempurnakan oleh Abah dengan satu gerakan tangan barulah beliau menyatakan telah sempurna.
”Besok Nok kesini lagi menginap beberapa hari untuk belajar agama dan akan memberitahu siapa Andini sebenarnya”, tegas Abah. (Andini dan suaminya saling memandang tanda bertamabh kebingungan mereka. Sementara minuman teh hangat dan aneka sajian belum juga mereka sentuh).
”Ya sudah cukup sekian dulu disempurnakannya karena sudah malam jam 08.00 nanti Nok Dini kemalaman pulang ke Jakarta”, Abah memberikan saran tegas.
Begitu mereka bangkit dari duduk, terlihat Abah H. Mahfudin mengambil puluhan ribu dari saku celana gombornya.
”ini untuk ongkos pulang. Hati-hati di jalan ya nok”, selorohnya sambil menyerahkan puluhan ribu rupiah yang tergulung itu.
Kemudian Andini secara spontan menerima saja pemberian itu dan bersikap hormat tunduk utuk memohon pamit seraya menyalami dan Rasyad juga suaminya demikian.
”Besok saya kesini lagi Abah mohon doa restu kepada kami”. Sebelum mereka beranjak pulang, Abah H. Mahfudi sempat berbicara kepada anak-anaknya (ibu-ibu dan beberapa pria), ”tuh cucune Ratu Kidul anake Roro Kidul teka. Ora bohongan, Bengien kula wis tekandani”.
(maksudnya: tuh benarkan cucunya Ratu Kidul yang anaknya bernama Roro Kidul datang. Bukan bohong. Dahulu sudah saya katakan demikian).
Kemudian mereka menyambut hormat, ”oh iya abah.....”.
Dalam pikiran Andini terbayang bahwa besok dia dan suaminya akan dating kembali untuk belajar dan menginap selama beberapa hari. Mungkin aktivitas bisnis mereka berhenti untuk ini. Dan yang lebih penting dalam benak Andini bahwa upaya pencarian jati dirinya telah menemui titik terang. Ya itulah jalan penjang penantian yang telah usai.
Abah H. Mahfudin bercerita siapa Andini sebenarnya.
Keesokkan harinya Andini datang lagi. Mereka datang siang hari sampai di rumah Abah H. Mahfudin yaitu pada waktu ba’da Dzuhur. Begitu sampai mereka disambut oleh anak-anaknya Abah. Salah satunya anak perempuannya yang tinggal disitu bersebelahan dengan dua blok bagunan rumah Abah. Wanita itulah yang mengurusi keperluan makan dan belanja. Wanita baya itu ditemani oleh dua orang wanita muda selalu membantu Abah untuk mempersiapkan segala keperluan.
Wanita baya itu kemudian menghampiri dan memperkenalkan dirinya bernama Mbak Arkem, anak ke dua dari Abah H. Mahfudin. Dua orang putra lainnya yakni anak pertama dipanggil namanya Mas Kaspul dan paling bungsu namanya Mas Ukit.
Di depan rumahnya Abah H. Mahfudin ada sebuah bangunan besar tempat tinggal saudaranya Abah H. Mahfudin. Kebetulan dia jualan barang eceran (warung) makanan-makanan kecil, minuman, rokok dan banyak lagi. Dipanggil namanya dengan sebutan Mas Ruskim dan istrinya Mbak Aseng. Disebelahnya lagi diperkenalkan Mak Ami dan Mak Endah, adik perempuannya Abah H. Mahfudin.
Ketika selesai memperkenalkan anggota keluarga. Andini dan suaminya berbincang-bincang di bale depan rumah, sementara Abah masih menerima kunjungan beberapa pasien di tempat prakteknya. Salah seorang mengajukan pembicaraan bahwa memang benar dahulu ketika dia masih remaja, abah pernah mengatakan akan datang ke tempat ini seorang anak jin putrinya Roro Kidul anaknya Ratu Kidul yang legendaris itu. Dikatakan abah pula bahwa mereka berasal dari Jakarta, tetapi tanpa menyebutkan Jakarta bagian yang mana padahal Jakarta itu luas. Tentu saja mereka hanya mengartikan kalimat itu hanyalah dongeng. Dan kini mereka baru percaya bahwa dongeng bisa menjadi kenyataan. Kemudian khalayak berkumpul saling tertawa sambil menikmati hidangan beraneka makanan dan minuman.