ANDINI ROHMAH - SABILAL RASYAD :PENGOBATAN ALTERNATIF MEDIS & NON MEDIS
>>> MEDIS : DIABETES, JANTUNG, ASAM URAT, REMATIK, VERTIGO, LIVER, PROSTAT, STROKE, DLL
>>> NON MEDIS: KENA SANTET, GUNA2, KESURUPAN / GANGGUAN GHOIB
==> MELEPAS SUSUK
==> MEMBUKA AURA & REJEKI
==> MEMUTUS PERJANJIAN GHAIB
==> PENGOBATAN MEDIS & NON MEDIS

==> MELEPAS PEGANGAN GHAIB
==> PENGOBATAN ALTERNATIF TUSUK 12 JARI
==> NAIK JABATAN


HP: 081298819963, 087887615083, 021–70871857
PIN : 74D75E50
WhatsApp : 087887615083
Email : andini_rohmah@yahoo.com

SPESIALIS: MEMBUKA AURA KECANTIKAN JUGA MEMBERSIHKAN MUKA DARI JERAWAT BATU,BISUL,FLEK2 HITAM DI MUKA, MEMBUKA REJEKI & JODOH

Minggu, 05 April 2009

ANDINI CUCU DEWI NAGA SELATAN BELAJAR AGAMA ISLAM KEPADA NABI KHAIDIR A.S.

Menjadi Lakon Tanah Jawa

Pemandangan sawah yang menghijau begitu luas tak berbatas telah mengingatkan aku pada perjalanan yang panjang menapaki hidup di dunia ini। Namaku Andini Rohmah yang sebelumnya aku telah menceritakan fenomena nyata tentang diriku. Terlahir ke dunia sebagai anak manusia yang sebenarnya aku berasal dari negeri gaib keluarga Kerajaan Laut Selatan yang bertahta nenekku sendiri Dewi Naga Selatan.

Pada tulisan ini aku ingin memberikan penjelasan kepada semua orang agar tidak salah persepsi dengan sepak terjangkau dikancah dunia spiritual di tanah Jawa bersama suamiku tercinta Sabilal Rasyad Bin Mughni yang keturunan asli dari Sunan Gunung Jati। Kami hanyalah hamba Allah yang terjun langsung ke masyarakat untuk membantu sesama manusia dengan ikhlas dan memperkuat tali sialturahmi sesama umat Islam serta membenarkan Alqur’an dan Hadits.

Bahwa kami dengan keterangan (cerita) ini tidak meminta pamor ataupun sejumlah khalayak untuk menjadi jamah, namun kami justru hanya ingin berdialog dan bersilaturahmi dengan siapapun mengenai kebenaran cerita ini। Bukankah menurut hadits bahwa menuntut ilmu itu wajib sampai kita dijemput ajal ? Dan patut diingat agar sebelum wafat kita harus mencari Hidayah Allah SWT dan menemukan jalan khusnul khotimah। Banyak orang dengan topeng kebenaran padahal mengajak kepada kesesatan yang nyata, itulah tipu daya Iblis berpakaian “kebaikan”. Naudzu billahi mindzalik. Sepatutnyalah kita tidak merasa saling benar diantara umat yang lain, karena kebenaran itu datangnya dari Allah SWT. Jika telah menyimpang dari Alqur’an dan Hadits niscaya kebenaran itu hanyalah topeng dunia belaka. Istilah dalam ilmu Fiqih itu disebut Bid’ah.

Untuk meluruskan persepsi yang mana nasab Dewi Naga Selatan (Ratu Kidul) dan mana yang Nasab Gunung Jati sebenar-benarnya. Ada baiknya aku akan menerangkan bahwa kami berdua Andini dan Sabilal hanyalah merupakan pelakon dari perjanjian para Walisongo pada zaman keemasan Islam di Tanah Jawa। Kami telah bertemu dengan seorang waliyullah sejati di sebuah desa terpencil di daerah Karawang. Beliau bernama Syeikh Haji Mahfudin Bin Carban. Pertemuan dengan beliau telah kami jalani melalui proses yang sangat panjang dan melelahkan.

Berawal dari perjalanan spiritual kami dari paling Barat Jawa yaitu Banten sampai ke Timur Jawa yaitu Pulau Lombok। Kami menziarahi dan menapak tilas sejumlah pelakon (tokoh) penyiar agama Islam dan para Waliyullah serta para tokoh yang berjuang untuk menanamkan kehidupan Islami bagi masyarakat di Tanah Jawa dan Pulau Lombok. Pada kisah sebelumnya yang berjudul “Andini Kencana Rara Sati” putri dari Laut Naga Selatan, maka kami merasa perlu untuk memaparkan para tokoh legendaris Tanah Jawa yang berada dibelakang (pendorong kekuatan) kami terutama guru kami yang masih merupakan titisan Nabi Khidir AS yakni Syeikh Haji Mahfudin Bin Carban.

Pertemuan dengan Waliyullah Tanah Jawa Generasi Terakhir

Saat-saat terakhir kami ingin menutup perjalanan napak tilas para waliyullah di Tanah Jawa akan kami selesaikan, akhirnya kami sampailah berziarah di suatu makam di Kabupaten Karawang yakni Syeikh Quratul’ain (Syeikh Datul Qubro) kami mendapat ilham yang intinya agar kami berguru kepada Syeikh Haji Mahfudin yang merupakan satu generasi waliyullah yang masih hidup serta akan mengajarkan ilmu agama (Islam). Secara mendetail akan aku menceritakan bagian ini yang sebelumnya ada baiknya aku mengisahkan sejarah hidup dan nasab (silsilah) guru kami tersebut yang umurnya mencapai 125 tahunan।

Saat pertama mobil kami meluncur ke sebuah desa yang menuju ke tempat tinggalnya seorang kakek titisan wali tersebut, tubuh kami serasa ringan bagaikan melesat dengan kencang tanpa hambatan. Begitu memasuki pekarangannya yang luas dan sederhana kami tergagap, sebab bukanlah pesantren atau padepokan persilatan yang kami jumpai melainkan beberapa blok rumah milik satu keluarga besar dengan kondisi cukup sederhana nan asri dan ditengahnya terdapat sebuah tajuk (musholla) dengan bangunan permanent berarsitektur kuno. Yang menarik bagi kami adalah rumah kediaman milik Syeikh Haji Mahfudin (Abah Haji) seperti berkemilau cahaya putih dan seakan-akan terlihat bagaikan bahtera yang mengapung di atas lautan luas

Abah Haji Mahfudin kemudian menatap kami lekat-lekat langkah kedatangan kami dan berkata, “kalianlah yang aku tunggu selama puluhan tahun yang silam”। Singkat cerita kami memahami maksud beliau bahwa kami diturunkan ilmunya para waliyullah. Jadi jelas bahwa sang cucu asli Dewi Naga Selatan (Andini) yang bukan merupakan ruh manusia yang harus tunduk kepada aturan agama islam, bukan sebaliknya manusia yang tunduk kepada makhluk gaib.

Padahal sudah banyak umat yang kita lihat saat ini malah berbangga katanya kalau memiliki ilmu karena berguru ke pegunungan, hutan, dan kuburan tempat bersemayamnya makhluk gaib Siluman। Oleh karenanya saya tekankan lagi bahwa lakon kami ini adalah untuk membalik fenomena ini agar umat kembali memperdalam ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang paling mulia sebagai khalifah untuk mensejahterahkan kehidupan di dunia dan akhirat kelak.

Aku sendiri merasa bahwa nenekku Dewi Naga Selatan beberapa kali telah mengingatkan bahwa kelak nanti aku akan disandingkan dengan keturunan wali untuk membawa Syiar Agama Islam terutama Anar Makruf Nahi Munkar, dan bukannya sebaliknya memperkenalkan ilmunya Dewi Naga Selatan kepada masyarakat. Artinya bahwa aku sendiri yang merupakan keturunan Jin dari Dewi Naga Selatan saja mau tunduk kepada ajarannya para Waliyullah, lalu mengapa umat yang cuma merupakan keturunan siluman merkayangan yang tidak jelas silsilahnya malah berbangga dengan ilmu spiritual dari kalangan bangsa siluman ?

Abah Haji Mahfudin sangat menyayangi kami dan mengajari kami ilmu para wali yaitu : ilmu Syariat, Thorekat,Hakekat, dan Makrifat. Ilmu-ilmu tersebut merupakan pondasi yang kuat bagi untuk mendapatkan ilmu pengobatan spiritual bertaraf tinggi. Singkat cerita akhirnya jadilah kami murid yang diundangnya setiap minggu untuk mengikuti pengajiannya bersama satu santrinya sebagai penulis kitab. Yang kami ketahui bahwa Abah Haji tidak pernah menerima murid utama lebih dari satu orang karena ia selalu memeriksa silsilah orang yang ingin berguru kepadanya, dan jika tidak jelas asal usul nasabnya maka orang yang ingin menjadi murid tersebut harus pulang kampung. Pengajian ke rumah Abah Haji akhirnya kami lakukan rutin setiap minggu tiga hari dengan menginap. Dengan demikian kami sebagai murid telah dianggap keluarganya sendiri.

Sekilas Andini Rohmah mencari jati diri.

Mula-mulanya Andini dikasih tahu oleh temannya bahwa Andini bukan manusia biasa. Ia berkata deikian karena pernah menanyakan kepada gurunya di sebuah gunung terpencil di Tasikmalaya perihal Andini temannya yang bisa melihat alam gaib. Berdasrkan informasi itu Andini menjadi penasaran dan ingin pula mencari tahu siapa dirinya.

Suatu saat pacarnya semasa SMA datang lagi setelah lama tak bertemu dan mengatakan bahwa kakaknya bisa tahu melihat dari foto saja. Maka Andini menyuruh Rasyad pacarnya di SMA itu untuk menanyakan kepada kakaknya yang di Indramayu siapa diri Andini yang sebenarnya. Setelah berada disana, Rasyad keesokan harinya telepon dan mengatakan bahwa memang Andini adalah titisan Roro Kidul!

Akan tetapi waktu itu belum terlalu jelas titisan itu yang bagaimana, apa yang dititipkan ilmunya atau dikeluarkan di dunia seutuhnya.

Andini masih bingung. Dan atas saran kakaknya Rasyad bahwa Andini diperjodohkan, akhirnya tahun 1999, Andini dan Rasyad menikah. Karena keingintahuan yang besar, Andini bersama suaminya Rasyad berkeliling di kota Jakarta menemui habib-habib menanyakan asal usulnya. Malah yang didapatkan hanyalah pepesan kosong, dikatakan para habib itu semua dongeng.

Oleh karena tidak puas, maka mereka berniat langsung bertanya ke para penghuni gaib di tempat keramat (karomah). Mereka kemudia pergi perjalanan ke Jawa ke makam-makam para wali dan syaikh hingga sampai di Lombok selama 2 tahun mengelilingi daerah itu.

Tetapi pada saat bernapak tilas di Cipunegara, ada kuncen yang mengatakan bahwa Andini dipanggil oleh Ibu Dewi disuruh ke Sukabumi. Kebetulan pada waktu itu, Andini dan Rasyad berangkat untuk mengambil bahan dagangan seperti sayuran, cabe dan lain-lain bukan untuk menemui Ibu Dewi gaib yang dikatakan kuncen tadi. Akan tetapi didesak oleh penasaran akhirnya Andini dan Rasyad mengajak Kakaknya Rasyad bernama Ayu dan dua orang temannya Rasyad Aziz dan Zain.

Keesokan harinya Andini pergi ke Sukabumi, mereka berlima. Sampai di Sukabumi, di makam Dewi Naga Selatan , Andini menanyakan dalam hati; “Nenek Ratu, apabila saya ini keturunanmu buktikan dan tunjukkan siapa saya yang sebenarnya”.

Empat orang lainnya hanya memandang Andini menangis dan merapatkan kedua tangannya seraya bagaikan berbicara dengan orang lain. Mereka tidak melihat apapun kecuali Ibu Ayu yang sejak tadi merasakan ada hawa lain yang datang ke situ.

Ditanya demikian Sang Ratu hanya diam saja sambil tersenyum.

Tiga kali bertanya dalam batin, Andini akhirnya memberi isyarat kepada yang lainnya untuk meninggalkan tempat itu. Kemudian pulang dengan seribu pertanyaan yang belum terjawab.

Dalam dialog tadi juga Andini menanyakan mengapa ia sampai umur 15 tahun setiap bulan Purnama dijemput dan bertemu Sang Dewi di Istana Laut Selatan tetapi kini tidak pernah lagi pengalaman itu.

Seminggu kemudian setelah dari makam (petilasan) Ratu Kidul di Sukabumi, tiba-tiba rumah Andini di Slipi diketuk. Karena Andini tertidur larut malam, hanya ia yang sempat membukakan pintu. Tetapi tidak ada orang di luar sana. Tapi perasaan dalam batinnya mengatakan jangan-jangan ada utusan dari Sukabumi, yaitu Nenek Dewi mengirimkan ketukan tadi.

Lalu Andini tertidur, tanpa memikirkan apa yang telah terjadi tadi. Di dalam tidur yang melelahkan itu Andini bermimpi di datangi dayang-dayang cantik dan para pengawal tampan. Salah satu dayang terlihat seperti orang yang dikenal Andini. Tapi dimana ketemunya? Tanya Andini dalam hati.

Para utusan itu meminta Andini dan suaminya saja agar berangkat lagi ke Sukabumi karena Dewi menunggu mereka. Tiba-tiba tanpa proses perpindahan mimpi ke alam sadar. Andini langsung terbangun dari tidur dan langsung menggapai suaminya Rasyad agar bersegera ke Sukabumi.

Pagi-pagi sekali jam 5.00 subuh, mereka bergegas untuk mandi, langsung makan, shalat Subuh lalu beres-beres. Pagi-pagi buta disaat semua penduduk masih terlelap, mereka berangkat. Perjalanan yang ditempuh selama 7 jam dengan rute jakarta lewat jalan Raya Bogor dan Ciawi. Sesampai di lokasi petilasan Ratu menjelang siang. Lalu Andini bergegas mendatangi makamnya.

Andini berdoa kepada Allah SWT agar kali ini ada isyarat kebenaran. Tidak berapa lama kemudian ketika menjelang senja Nenek Ratu datang. Seperti biasa, Andini dengan memelas meminta jawaban lagi kepada Nenek Ratu.

”Nenek Dewi, saya masih ingat utusan kerajaan tadi malam datang membawa kabar, apakah benar saya ini adalah keturunanmu, kalau benar tolong buktikan dan tunjukkan kalau saya ini adalah titisanmu. Saya memohon nenek (ucapan diulang sampai tiga kali berturut-turut)”.

Dengan penuh wibawa Nenek Ratu berkata, ”Pergilah Nak Dini ke Karawang, ketempat Makam Syeikh Quro, dimana nanti disanalah Nak Dini mendapatkan semua jawaban yang Nak Dini inginkan. Engkau sudah tidak sabar lagi, maka pergilah segera”.

Andini balik bertanya lagi, ”nenek kenapa musti kesana? Dan kenapa tidak Nenek Dewi saja yang mengatakan sekarang?”.

Nenek Dewi menjawab, ”Tidak karena ini adalah peraturan yang telah ditetapkan bersama duhulu. Sudah pergilah kesana!

Andini hanya terdiam sejenak. Lalu mengatakan, “Ya baiklah nenek Dewi, saya akan pamit kalau begitu”.

“Nah Jaga dirimu baik-baik dan hati-hati di jalan! Nenek memerintahkan pasukan naga kecil untukmu selamanya dimulai dari sekarang”.

Hanya satu tepukan saja munculah pasukan naga kecil berpakaian emas dan perak. “Perkenalkan pasukan khusus yang puteri dan putera nama mereka adalah Andana-Andini”, nenek Ratu menegaskan kembali.

“Baiklah Nenek Ratu terima kasih atas keterangannya. Besok Andini akan ke Karawang mencari jawaban selanjutnya disana”.

Setelah itu Andini dan Rasyad pamit pulang dari hadapan sag Ratu. Hari itu sudah magrib mereka bertolak ke Jakarta. Sepanjang jalan Rasyad bertanya, “Apa kata Nenek Ratu?”, “Katanya semua jawaban ada di Karawang ke tempatnya Syeikh Quro (makam)”

“ya sudah kalau begitu besok kita kesana saja. O ya Dini tahu tidak makam Syeikh Quro dimana?”, tanya Rasyad suaminya

“Tidak tahu”, jawab Andini tegas.

“Ya, sudahlah besok saja kita kesana, tanya-tanya di jalan”.

Jalur jalan yang Andini pilih lewat Bogor dan selatan Jakarta. Hal ini karena mereka sudah dalam kondisi letih. Kalau lewat jalan Tol tidak ada perhentian. Anehnya perjalan pulang menjadi lancar tanpa hambatan. Tak terasa dalam perjalanan pulang ke Jakarta, mereka berhenti di lampu merah tepat jam 19.00 malam, di daerah kawasan Pondok Indah.

Dalam barisan itu mobil kami yang paling jelek. Mobil Toko (Moko) namanya. Ya mobil yang dikhususkan untuk berdagang. Melihat disekeliling banyak mobil-mobil mewah dan bagus-bagus. Tiba-tiba datang pengemis tua membawa gembolan dan berbaju hitam. Anehnya pengemis itu hanya mendatangi Mobil yang ditumpangi Andini dan suaminya.

”Dini kamu punya uang berapa?”.

”Ada tinggal 1.500 rupiah di dompet”.

“Ya, sudah kasih saja 1.000 rupiah”.

“tidak ah, Andini mau berikan semuanya”.

Setelah mereka berikan, pengemis tua itu menatap tajam ke arah mereka berdua tanpa bicara sepatah katapun. Lalu pengemis tua itu pergi.

Tiba-tiba Rasyad berkata, ”Dini coba lihat ke belakang kok pengemis tua itu tidak meminta kepada orang lain hanya menghampiri kita saja”.

Andini menoleh kebelakang, secepat itu pula pengemis tua itu menghilang. Ternyata pengemis itu sudah tidak ada lagi.

Kemudian keduanya melanjutkan perjalanan pulang serta bertanya-tanya siapakah pengemis tua itu?

Konon katanya itu biasanya adalah Nabi Khidir AS yang suka menjelma menjadi pengemis. Kami hanya diam dan bertanya-tanya dalam hati. Ada apa sebenarnya? Apakah kami akan mendapatkan peristiwa yang tidak kami ketahui? Suatu tanda tanya tersendiri di dalam hati.

Akan tetapi akhirnya Andini berpikir untuk apa dipikirkan nanti malah tambah pusing sendiri. Yang ada di dalam pikiran Andini adalah besok kemakamnya Syeikh Quro untuk mendapatkan keterangan siapa sebenarya diri Andini. Begitu sampai di rumah Slipi sudah jam 21.00 malam. Andini dan suaminya berbicara dengan anggota keluarga akan keberangkatannya ke Karawang.

Keesokan harinya, mereka siap-siap mau pergi. Shalat subuh dan makan pagi terlebih dahulu. Diperjalanan mereka mampir ke bank untuk mengambil uang tambahan karena perjalan cukup jauh. Jalur yang dipilih adalah Karawang Barat melewati Tol Cikampek Jakarta. Setelah melihat papan petunjuk jalan keluar dari tol Karawang Barat, mereka meneruskan perjalanan ke kota Karawang. Sesampainya di pertigaan jalan besar, mereka bingung kemana arah menuju makam Syeikh Quro itu.

Sambil melepas lelah, mereka berhenti sebentar bertanya kepada orang-orang di sekitar situ.

”Mereka mengatakan bahwa Bapak belok kiri setelah lampu merah lalu terus saja. Nanti disana Bapak tanya lagi”, jawab seorang pengojek.

Setelah dilanjutkan perjalanan tanpa sadar mereka membaca nama jalan yang terpampang yang kebetulan bernama Jl. Syeikh Quro. Mobil merapat ke arah khalayak berkumpul di sisi jalan. Andii membuka kaca mobil dan bertanya, ”Pak maaf, dimanakah makan Syeikh Quro perjalanan dari sini?”

”Oh ya disana, ibu terus saja nanti di depan sebelah kiri jalan ada papan nama makam Syeikh Quro”.

Sesampainya di papan petunjuk makam Syekh Quro, mereka berhenti. Di sana terdapat perkampungan kecil, tetapi belum juga terlihat tempat makam itu. Setelah bertanya sedikit maka diberikan petunjuk kepada mereka agar berbelok dari pertigaan lalu ke kiri.

Perjalanan sampai ke makam Syeikh Quro kurang lebih 3 kilometer. Begitu sampai di makam Syeikh Quro, mereka parkir mobil dan masuk. Andini dan Rasyad bergegas mendekati makam itu.

Andini dengan berdebar debar berbicara membatin, ”Assalamualaikum Eyang Syeikh Quro, saya Andini utusan nenek Dewi Naga Selatan”. (Andini membatin sambil menangis)

”Eyang Syeikh Quro datanglah, aku ingin bicara dengan Eyang. Kata Nenek Dewi saya disuruh bertemu dengan Syeikh Quro. Katanya mencari jawaban yang ada disini. Dengan memohon saya meminta datanglah kepada Dini yang ingin mengetahui jawaban ini”.

Satu jam Andini dan Rasyad tak bergeming dan tetapmenunggu. Tidak lama kemudian datang juga Syeikh Quro dengan hawa angin bertiup kencang.

“Andini, Eyang telah mendengar permintaan mu, maka temuilah seseorang Arif di daerah Tegal Koneng, karena dia salah satu wali yang masih hidup dan dialah yang nantinya akan memberitahumu secara jasad. Namanya Syekh Haji Mahfudin”.

“Ya, Eyang terima kasih. Eyang, kami pergi dulu”

“jaga dirimu baik-baik ya! (kemudian kabut gaib menyelubungi Syekh Quro dan menghilang dari pandangan batin Andini)

Setelah mendapat isyarat itu, Andini menggamit tangan suaminya Rasyad untuk langsung menuju Desa Tegal Koneng, yang menurut penduduk sekitar sudah tidak jauh dari sini.

Tidak jauh dari situ, kemudian ada salah satu kuncen mendatangi mereka berdua. Orang itu menyebutkan namanya.

”perkenalkan Saya adalah Pak Thamrin. Semalam saya di datangi oleh bapak saya. Yang dulu juga kuncen makam Syeikh Quro. Beliau mengatakan besok ada tamu agung dari Jakarta, tolong sambut mereka. Dan tolong kasih tahu dimana tempat tinggalnya H. Mahfudin”.

”ya pak benar kami orangnya”, jawab Rasyad.

”Maaf Pak, perjalanan kesana sangat gelap karena tempatnya terpencil. Bisa sampai 2 atau 3 jam ke Tegal Koneng”.

Mendapat informasi demikian, akhirnya Andini dan Rasyad memutuskan besok pagi kembali lagi ke Karawang karena hari sudah menjelang magrib.

Dini hari mereka bangun. Setelah Shalat Subuh. Andini mengaji dengan alunan suara perlahan. Rasyad sibuk mencuci mobil. Tampaknya hari ini mereka tidak terburu-buru, karena sudah mendapat suatu petunjuk jalan terang. Baru pukul sembilan mereka pamit kepada keluarga utuk berangkat. Sampai di Karawang, mereka langsung mengarah ke makam Syeikh Quro tepat jam 12.00 siang. Di makam Syeikh Quro, Andinii dan Rasyad mendoakan dan mengenang jasa-jasa beliau karena telah mengajarkan agama Islam di tanah Jawa.

Setelah itu sekitar jam 12.30, mereka berangkat ke Tegal Koneng. Pak Thamrin sang kuncen memberikan secarik kertas berupa denah (peta) dan alamat ke kampung Patok Beusi, Desa Tegal Koneng tempat tinggal H. Mahfudin. Mereka mengucapkan kepada Pak Thamrin yang sudah membantu dalam mengarahkan petunjuk menemukan guru sejati mereka.

Andini kembali diIslamkan oleh Guru Sejati

Benar memang perjalanan ke Tegal koneng I melewati jalan setapak satu mobil. Jalan itu berupa tanah keras. Angkutan masyarakat pedalaman itu adalah ojek dan gerobak. Diantara mobil-mobil mewah yang lalu lalang adalah pelat nomor B, orang Jakarta. Mereka tentunya juga mendatangi ke tempat H. Mahfudin. Mobil angkutan desa juga terlihat sesekali, bahkan bukan untuk mengangkut orang melainkan hasil bumi.

Dalam perjalanan ke tempat H. Mahfudin, di sepanjang jalan terlihat di kanan-kiri ada sawah. Tanah keras sebagai jalan mobil seperti ini rasanya pernah dilalui Andini. Sejenak ia katakan hal itu pada Rasyad suaminya. Namun kira-kira dimana ya? (tanya Andini membatin dalam hati).

Sebelum sampai ke tempat H. Mahfudin perasaan Andini tidak karuan, bergetar tak menentu karena ada perasaaan bingung dan takut serta bercampur aduk haru dan gembira. Ternyata benar memang perjalanan dari depan jalan raya sampai ke tempat H. Mahfudin di Tegal Koneng II, berjarak kurang lebih 5 kilometer sesuai dengan kata Pak Thamrin.

H. Mahfudin alias Warta terpampang di sebuah papan petunjuk. Akhirnya, mereka sampai juga di depan rumahnya. Rumah itu sederhana dengan halaman yang luas terbentang dan di dalamnya ada beberapa rumah dan terdapat mushola tua di tengah-tengahnya. Kemungkinan beberapa rumah yang ada itu merupakan sanak famili H. Mahfudin.

Setelah mobil diparkirkan ke dalam halaman, ada seorang ibu menghampiri kami sambil tersenyum. Dibelakangnya kelompok ibu-ibu sedang berkumpul dan duduk-duduk di bale beralas tikar bambu.

Andini membuka pertanyaan, ”Apa betul ini rumah Bapak H. Mahfudin?”

”Oh, Abah Haji Mahfudin, iya betul”, jawab ibu itu.

”Nok ini teng pundi je?”, Ibu itu menjawab dengan logat Cirebonnya. (maksudnya: nona dari mana ?)

Andini menjawab, ”Saya Dini dan ini Rasyad suami saya mau bertemu dari dengan Bapak H. Mahfudin. Saya disuruh kesini mencari Bapak H. Mahfudin. Kami dari Jakarta”.

”Oh gitu, ya nok ini dari Jakarta ya?”, dia meminta penegasan.

Andini mengangguk.

”Oh jauh je”, jawabnya lagi.

”Iya jauh Jakarta”, Andini menegaskan.

Kemudian salah seorang wanita baya masuk ke dalam dan terdengar memanggil kata abah........abah....

”Abah enek uwong Jakarta. Tiang loro, Jenenge Dini karo Rasyad”.

Kemudian keluarah pria yang sangat tua bertubuh kecil dan tegap menggunakan tongkat. ”Sopo nok sing teka?”, tanya kakek itu.

”Dini karo Rasyad teng Jakarta je”, jawab wanita baya itu (kemungkinan putrinya kakek itu).

”Ya wis, dodok ning kana”, ujar sang kakek. (maksudnya: ya sudah duduklah di situ).

Tak lama kemudian Bapak H. Mahfudin keluar dari rumah sebelah kiri dan menghampiri kami. (katanya rumah ini dua blok. Ruang tamu tempat kami duduk adalah tempat istirahat kakek itu, sedangkan rumah sebelahnya adalah tempat praktek pengobatan, pengajian, dan ruang belajar Al Quran. Di depan ruang tamu ini ada bale besar tempat duduk berkumpulnya keluarga kakek. Pada rumah sebelahnya ada banyak kursi berderet untuk tempat menunggu pasien.)

Begitu bertemu muka langsung berkata, ”Nah ini dia anak yang saya tunggu-tunggu 50 tahun yang lalu”.

Andini sempat terkejut beberapa saat sekaligus bingung. (kok bisa menunggu saya 50 tahun yang lalu padahal belum lahir ke dunia. Lalu berarti kakek ini sudah berusia dia atas seratus. Andini membatin)

Kemudian Andini membuka pembicaraan, ”Abah bukannya saya masih berusia 34 tahun sekarang. Mana mungkin abah haji menunggu saya selama itu?”.

Bapak H. Mahfudin hanya menggeleng dan tersenyum. Kemudian beliau mempersilahkan Andini dan Rasyad mengikutinya ke rumah sebelah tempat prakteknya. Sementara ibu-ibu yang di depan tadi sibuk mempersiapkan makanan dan minuman di dapur.

Di ruang prakteknya Abah H. Mahfudin. Menceritakan bahwa dia mendapat tugas menunggu tamunya yang dihadapi sekarang dalam waktu 50 tahun. Beliau memperkirakan usianya kurang lebih 125 tahun sekarang. Begitu duduk di kursi prakteknya Bapak H. Mahfudin, beliau langsung marah-marah dengan bahasa Indonesia (Betawi).

“Eh kamu ngapain kamu ikut-ikut Dini. keluar kamu! Jangan ganggu dia lagi.”, kata Abah.

Andini bingung tertegun. Kemudian Abah H. Mahfudin memperlihatkan gambar perempuan cantik ke Arab-araban (sobekan kalender).

”Inikan Dini yang selama ini yang sering datang ke kamu nok”. ”Iya Bah”, Dini sering lihat dia Bah. (mungkin dayang-dayang dari alam gaib mengikuti).

Dengan menginjak-injak gambar tadi, kemudian Abah H. Mahfudin mengatakan mengangkat Dini menjadi anaknya.

”Nok maukah kamu di Islamkan kembali sukmamu?”.

Andini mengangguk tanda mengiyakan saja. (mungkin karena dalam keadaan bingung)

Kemudian Anini disuruh membaca Bismillahirohmanirohim sampai 12 kali. Abah H. Mahfudin terlihat mengitari Andini sambil manggut-manggut.

Setelah Andini disempurnakan oleh Abah dengan satu gerakan tangan barulah beliau menyatakan telah sempurna.

”Besok Nok kesini lagi menginap beberapa hari untuk belajar agama dan akan memberitahu siapa Andini sebenarnya”, tegas Abah. (Andini dan suaminya saling memandang tanda bertamabh kebingungan mereka. Sementara minuman teh hangat dan aneka sajian belum juga mereka sentuh).

”Ya sudah cukup sekian dulu disempurnakannya karena sudah malam jam 08.00 nanti Nok Dini kemalaman pulang ke Jakarta”, Abah memberikan saran tegas.

Begitu mereka bangkit dari duduk, terlihat Abah H. Mahfudin mengambil puluhan ribu dari saku celana gombornya.

”ini untuk ongkos pulang. Hati-hati di jalan ya nok”, selorohnya sambil menyerahkan puluhan ribu rupiah yang tergulung itu.

Kemudian Andini secara spontan menerima saja pemberian itu dan bersikap hormat tunduk utuk memohon pamit seraya menyalami dan Rasyad juga suaminya demikian.

”Besok saya kesini lagi Abah mohon doa restu kepada kami”. Sebelum mereka beranjak pulang, Abah H. Mahfudi sempat berbicara kepada anak-anaknya (ibu-ibu dan beberapa pria), ”tuh cucune Dewi Naga Selatan anake Dewi Roro Kidul teka. Ora bohongan, Bengien kula wis tekandani”.

(maksudnya: tuh benarkan cucunya Dewi Naga Selatan yang anaknya bernama Dewi Roro Kidul datang. Bukan bohong. Dahulu sudah saya katakan demikian).

Kemudian mereka menyambut hormat, ”oh iya abah.....”.

Dalam pikiran Andini terbayang bahwa besok dia dan suaminya akan dating kembali untuk belajar dan menginap selama beberapa hari. Mungkin aktivitas bisnis mereka berhenti untuk ini. Dan yang lebih penting dalam benak Andini bahwa upaya pencarian jati dirinya telah menemui titik terang. Ya itulah jalan penjang penantian yang telah usai.

Abah H. Mahfudin bercerita siapa Andini sebenarnya.

Keesokkan harinya Andini datang lagi. Mereka datang siang hari sampai di rumah Abah H. Mahfudin yaitu pada waktu ba’da Dzuhur. Begitu sampai mereka disambut oleh anak-anaknya Abah. Salah satunya anak perempuannya yang tinggal disitu bersebelahan dengan dua blok bagunan rumah Abah. Wanita itulah yang mengurusi keperluan makan dan belanja. Wanita baya itu ditemani oleh dua orang wanita muda selalu membantu Abah untuk mempersiapkan segala keperluan.

Wanita baya itu kemudian menghampiri dan memperkenalkan dirinya bernama Mbak Arkem, anak ke dua dari Abah H. Mahfudin. Dua orang putra lainnya yakni anak pertama dipanggil namanya Mas Kaspul dan paling bungsu namanya Mas Ukit.

Di depan rumahnya Abah H. Mahfudin ada sebuah bangunan besar tempat tinggal saudaranya Abah H. Mahfudin. Kebetulan dia jualan barang eceran (warung) makanan-makanan kecil, minuman, rokok dan banyak lagi. Dipanggil namanya dengan sebutan Mas Ruskim dan istrinya Mbak Aseng. Disebelahnya lagi diperkenalkan Mak Ami dan Mak Endah, adik perempuannya Abah H. Mahfudin.

Ketika selesai memperkenalkan anggota keluarga. Andini dan suaminya berbincang-bincang di bale depan rumah, sementara Abah masih menerima kunjungan beberapa pasien di tempat prakteknya. Salah seorang mengajukan pembicaraan bahwa memang benar dahulu ketika dia masih remaja, abah pernah mengatakan akan datang ke tempat ini seorang anak jin putrinya Dewi Roro Kidul anaknya Dewi Naga Selatan yang legendaris itu. Dikatakan abah pula bahwa mereka berasal dari Jakarta, tetapi tanpa menyebutkan Jakarta bagian yang mana padahal Jakarta itu luas. Tentu saja mereka hanya mengartikan kalimat itu hanyalah dongeng. Dan kini mereka baru percaya bahwa dongeng bisa menjadi kenyataan. Kemudian khalayak berkumpul saling tertawa sambil menikmati hidangan beraneka makanan dan minuman.


Setelah berjam-jam mereka berbincang tak terasa waktu sudah senja. Tidak lama kemudian Abah keluar dari tempat prakteknya. ”Wah, Nok gimana kabarnya?”, tanyanya denga ramah sambil menghentakan tongkatnya.

”Iya baik Bah”, jawab Andini singkat.

Andini begitu melihat Abah seperti tertegun karena ada perasaan kagum. Beliau sudah tua bahkan berusia senja, namun masih tetap gagah. Matanya masih awas, pendengarannya masih bagus, bicaranya juga dengan penuturan bahasa yang masih jelas. Pada usia 125 tahun beliau masih tetap bisa mengobati orang-orang dengan keluhan berbagai penyakit dan juga memberikan bekal serta saran bagi pasien yang menjalankan usaha, karier pekerjaan dan keperluan hajat tertentu. Abah ini juga tergolong sangat sakti karena mempunya ilmu kekebalan. Dan kesaktian (kanuragan) atau ilmu ini tidak sembarangan diberikan kepada murid bahkan pasien. Andini dan suaminya bukanlah akan diajarkan ilmu ini tetapi ilmu kewaskitaan, kebijaksanaan, ilmu agama, dan tentunya ilmu ketabiban spiritual tinggi.

Kemudian abah meminta salah satu anaknya untuk mengantarkan Andini dan suaminya ke tempat berwudu dan mereka disuruh menjalankan salat maghrib berjamaah. Khalayak yang berkumpul di situ kemudian membubarkan diri untuk shalat berjamaah.

Pada saat lagi makan malam bersama datanglah cucu-cucunya Abah dari anak-anaknya yang bernama Mas Kaspul dan Mas Ukit. Mereka datang ingin berkenalan juga. Cucunya bernama Endang, Asep, dan Ade. Mereka sudah menikah semuanya. Sebagian dari mereka adalah pedagang dan penggarap lahan sawah milik abah.

Waktu sudah jam 10.00 malam. Abah terdengar memanggil, “Dini, mene nok karo Rasyad”. Abah memanggil mereka ke ruang tamu. Oleh karena yang akan dituturkan panjang jalan ceritanya maka dengan bahasa Cirebon diterjemahkan oleh cucunya, Ade. Berikut adalah penuturan aslinya dalam kalimat berita.

Nok Dini sebenarnya asalnya dari alam lain yang dikeluarkan secara manusia karena izin Allah SWT. Ibumu yang asli sebenarnya dari alam lain yang bernama Rara Panas atau yang disebut Dewi Roro Kidul anak kedua Dewi Naga Selatan . Nok ini keturunan bangsa jin yang dikeluarkan ke dunia. Dan untuk lahir ke dunia harus melalui ibu yang di dunia secara sunattullahnya. Sehingga janinnya dititipkan kepada yang di dunia tanpa tercampur dari kedua-duanya.

Ketika disampaikan demikian, Andini terkesiap bingung namun mengikuti saja penuturan selanjutnya. Abah juga mengatakan, Kamu nok punya adik Suci Rahayu. Kepergianmu dan dijemput setiap bulan purnama ke istana Nenek Dewi Naga Selatan itu untuk mempertemukan dengan adikmu dan saudara sepupumu.

(Andini memanggut dan membatin, oo... begitu ya jalan ceritanya, pantas saat itu berkenalan dengan anak lelaki kembar dan beberapa putri kecil berparas ayu salah satunya berpakain putih sering tertawa kecil itulah adiku. Jadi itukan memang ada hubungannya sekarang. Ya pantas, barulah terjawab semua pertanyaan dalam hati saya selama ini).

Setelah tahu itu semua perjalanan awal kehidupan Andini ke dunia, lalu abah berkata namanya Andini juga harus diganti dan mengadakan syukuran atau selamatan. Mulanya nama yang tepat adalah Siti Rohmah, tapi kata Abah H. Mahfudin nenekmu (Dewi Naga Selatan ) keberatan kalau trah (keturunan) dari sana nama Andini di hilangkan.



Gambar 2.1. Abah Haji Mahfudin diusianya 125 tahun


Akhirnya Abah mengambil jalan tengah, namanya menjadi ”Andini Rohmah”. Nama dari sana dipadukan dengan nama Islam. Tapi itu menjadikan pro dan kontra terjadi angin kencang, hujan deras, petir menggelegar tetapi akhirnya setuju juga. Dengan pergantian nama resmi sudah namanya menjadi Andini Rohmah. Cucu Dewi Naga Selatan . Yang diangkat anak oleh Abah H. Mahfudin. Andini berarti trah Naga dan Rohmah berarti Wanita Saleh penuh kasih sayang (welas asih).

Kemudian jadilah Andini dan suaminya belajar dengan Abah H. Mahfudin. Mereka diajarkan bagaimana beribadah dengan benar dan menceritakan tentang asal muasal bangsa Jin, Dajal. Asal usul terjadinya Khalifah di muka bumi ini.

(bacaan ada di Bab 4 dan 5 buku ini)

Mereka diajarkan Abah cara mengobati orang dan diajarkan tasawuf Torikat Qoodririyah Wannaqsabandiyah. Mereka disuruh berzikir dengan jumlah hitungan tertentu sesuai dengan hari kelahiran mereka masing-masing. Abah membuka mata lahir Andini agar lebih jelas lagi sehingga Andini dibekali ilmu spiritual tinggi mengobati orang. Abah menggunakan jurus gerakan tertentu mengusap wajah Andini.

Mulanya orang-orang disekitar kampung percaya kepada Andini kalau dia sudah bisa menyembuhkan. Selain karena sugesti mereka akan adanya sosok cucu dari Dewi Naga Selatan pasti mujarab, kemudian menyebar dari mulut ke mulut sampai orang kota dan kaum elite juga percaya pada ilmu pengobatan Andini (ketabiban spiritual).

Pada awalnya Andini keberatan karena saya merasa tidak yakin bisa tetapi karena didesak terus akhirnya bersedia juga. Abah membimbing cara mengobatinya. Diajarkan caranya dengan melihat mata orang itu seperti menggunakan telepati atau dalam teknologi sekarang disebut scan (pemindaian). Selama saya mengobati suami saya Rasyad juga membantu dengan mengusap bagian yang sakit dari pasien. Dan kini sekarang ilmu pengobatan suami Andini sudah mencapai taraf tingkat spiritual tinggi, karena terbukti mampu menyembuhkan orang lumpuh, mengalami disfungsi pada organ reproduksi. Ada pula pasien yang terkena kanker hati dapat sembuh total, bahkan anak idiot bisa menjadi normal kembali. Bukan hanya itu ilmu sihir tingkat tinggi juga dapat dikeluarkan! (bacaan ada pada Bab 8 buku

Ini)

Hal yang membuat Andini malu karena waktu pertama kali ke tempat Abah banyak orang berbondong-bondong ingin melihat sosok makhluk yang menjadi manusia keturunan dari cucu Dewi Naga Selatan . Mereka ingin melihat sisik-sisik yang ada di dalam badan Andini. Dilihatnya mata Andini, leher, tangan, kaki dan lain-lain. Tentu saja Andini merasa malu menjadi tontonan semua orang. Dan tak lama kemudian setelah puas, mereka baru percaya kepada Abah apa yang selama ini yang diceritakan tentang Andini dari Jakarta.

Namun sebenarnya dalam hati, Andini geli sendiri mengapa bisa begitu. Orang-orang disitu melihat Andini seperti melihat makhluk aneh, namun bersyukur jadinya telah mengerti semua ini. Setiap malam Abah mengajarkan agama dengan baca-bacaan yang khusus untuk mereka berdua. Dan lalu setelah itu, Abah mengatakan pada Andini dan Rasyad, besok Abah akan menceritakan pengalaman hidup Abah selama ini. Abah juga mengajarkan mereka pentingnya puasa Senin-Kamis.

Sosok Waliyullah Sejati

Abah Haji adalah seorang sosok kakek tua yang sederhana dan masih gagah namun tidak terlihat sakral seperti orang tua yang kami bayangkan kalau bergelar Syeikh atau Habaib layaknya yang sebelum-sebelumnya ini. Pola pikir beliau juga moderat dan sangat bijak walaupun perjalanan hidup beliau yang sangai penuh cobaan, cacian bahkan cibiran dari manusia sepanjang hidupnya. Dimata keluarga dan lingkungan sekitarnya beliau dihormati namun dilain pihak beliau dikatakan sesat, murtad dan gelar tidak pantas padanya. Namun sikap beliau tetap rendah hati dan thawaduk, tidak ada tanda-tanda kedendaman dan angkara murka dari diri pribadinya.

Beliau tidak ingin dimuliakan atau dikultuskan karena hanya ia menceritakan nasab atau silsilahnya berasal dari kalangan waliyullah. Beliau hanya ingin ia dipandang sebagai manusia biasa yakni orang yang lebih dua dan memiliki banyak petuah pengalaman kehidupan. Oleh karena perkataan beliau yang bisa dipegang artinya segala ucapan kita hendaknya senantiasa seiring dan seirama dengan tingkah laku kita sebagai umat manusia. Padahal yang kami tahu selama ini sudah banyak tokoh umat yang terlihat soleh tapi ternyata di belakang hari tidak mencerminkan seorang yang bijaksana. Atau lain ucapan lain pula perbuatannya.

Beliau walaupun sudah lewat satu abad usianya tetapi ibadahnya yakni shalat dan puasa (Shaum) tetap ia jalankan, bahkan kondisi fisiknya sehat dan juga tidak bungkuk melainkan tetap tegap. Selama dua tahun kami berguru kepada beliau, ia selalu berpuasa Senin – Kamis sebagai puasa sunah dan melakukan ibadah Shaum di bulan Ramadhan. Shalat yang ia jalankan adalah shalat wajib (Fardhu) dan sunnah rawatib.

Beliau masih memiliki kekuatan panca indera yang lengkap walaupun sudah setua itu, pendengarannay masih tajam dan pemandangannya masih jelas. Selama hidupnya beliau juga tidak mendalami pendidikan sekolah atau termasuk buta huruf, namun dari segala petuah yang ia kabarkan kepada kami terlihat jelas ia mendalami hidup secara hati-hati, bijaksana dan cermat agar tidak tergelincir kepada perbuatan yang jahat baik itu dosa kepada Allah SWT maupunmenyakiti umat manusia lainnya.

Beliau memberikan topik pengajian yang berbeda-beda setiap hari kepada kami dari sejak subuh kami bangun dan shalat sampai tengah malam kembali saat kami diajarkan untuk rutinitas Shalat Malam (Tahajud atau Qiyamullail). Kemudian besoknya pada waktu subuh hari kedua dan seterusnya sampai hari ketiga pada pagi harinya kami pamit pulang ke Jakarta untuk beristirahat dan beraktifitas kehidupan seperti biasa.

Topik bahasan yang diberikan wejangan kepada kami yakni mulai dari terciptanya alam semesta, manusia pertama Adam AS, para nabi dan Rasul pengemban tugas suci, kisah kahlifah Islam setelah risalah nabi Muhammad SAW, zaman keemasan Islam sampai menyeberang ke Eropa Timur dan Asia tengah dari Jaziarah Arab, sampai ke kepulauan Nusantara dan Asia Tenggara, dan pada puncaknya kisah Para Wali di Tanah Jawa yakni walisongo.

Selain itu beliau juga mengajarkan kami ilmu tata negara, ilmu politik, dan kebijaksanaan lainnya sebagai manusia untuk jadi pemimpin bagi umat lainnya. Sedangkan kisah lainnya tentang para Jin dan Ratu Bulqis sampai penguasa laut Selatan Dewi Naga Selatan nenekku sendiri. Dan kisah bala tentara Iblis, setan dan Dajjal yang senantiasa menyesatkan sebagian besar umat manusia di dunia yang luas ini. Segala ilmu yang kami dapatkan tersebut merupakan hakikat agar manusia dapat mengambil jalan terbaik dimana jalan kebenaran akan membuahkan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta sebaliknya jika salah jalan menuju kesesatan akan mendapat murka Allah SWT di akherat kelak.

Silsilah dan Nasab

Silsilah Beliau berasal dari dua garis keturunan ayah dan ibunya yakni, berasal dari kanjeng Sunan Kalijaga (Syarif Abdurahman) dari garis keturunan ayahnya dan berasal dari kanjeng Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatulah) dari garis keturunan ibundanya (Nyai Tonjong). Demikianlah Abah Haji Mahfudin kebetulan masih ada tali persaudaraan dengan suamiku Sabilal yang berasal dari garis keturunan laki-laki tepatnya pangeran Manggara Jati putranya (putra sulung) Kanjeng Sunan Gunung Jati dan Ibunda Nyai Rara Jati yang merupakan kakak kandung dari Nyai Tonjong (Putri Bungsu).

Pada silsilah Abah Haji tersebut dapat diperlihatkan pada bagan sebagai berikut:

Garis Keturunan Laki-laki :



Gambar 2.4. Silsilah Abah H. Mahfudin dari Garis Ayah



Bila diurutkan untuk melihat silsilah garis keturunan laki-laki dari Pangeran Manggara Jati keturunan kedua dari Kanjeng Sunan Gunung Jati kemudian pada keturunan kedelapan adalah Syeikh Tolha, kemudian putranya Syeikh Malawi, kemudian cucunya Abdul Mughni dan terakhir cicitnya adalah Sabilal Rasyad sebagai keturunan kesebelas.

Sedangkan menurut Garis Keturunan perempuan di pihak Abah H. Mahfudin: Abah Haji adalah keturunan yang keempat dari perkawinan Nyai Tonjong dengan Syeikh Junaidi atau keturunan ke lima dari Kanjeng Sunan Gunung Jati.

Telah diterangkan dimuka bahwa pada golongan wali biasanya ilmu yang diturunkan adalah kepada para santri yang jelas silsilah atau nasabnya. Sedangkan Abah Haji ini merupakan salah satu dari lima muridnya Syeikh Jungkung dari Baghdad. Kelima murid tersebut digembleng disebuah padepokan di kaki Gunung Ciremai pada tahun 1901 yang mana rata-rata murid pada saat itu berusia 18 – 25 tahunan.

Catatan (lengkap) mengenai lima murid satu perguruan dengan Abah Haji terdapat pada dinding tajuk tempat Abah Haji melakukan Shalat malam sebagai berikut :

Munggal Manggil Balegedo Bodo

Uong Mahfudin Alias Warta Bin Carban

Ajaran Syeikh Jungkung tahun 1901”

1. Ibu Rokanah Binti Tolha, Cirebon

2. H. Abral Kali Tengah, Cirebon

3. Mas Ganda, Bogor

4. Wacoy alias Bencoy, Maleber, Karawang

5. H. Mahfudin alias Warta Bin Carban

Pada tajuk beliau juga masih terdapat catatan yang jika diterangkan pada sub bagian selanjutnya berkaitan dengan pemahaman yang tinggi pada tataran spiritualis di Tanah Jawa bahkan mendunia. Hal ini karena silsilah tersebut berpuncak pada sosok nabi yang legendaris di zamannya yakni Nabi Khidir AS. Seperti telah diketahui bersama bahwa Nabi Khidir AS merupakan tokoh controversial yang diturunkan Allah SWT untuk memberikan sebuah pengetahuan kebijaksanaan kepada Nasi Musa AS.

Adapun secara garis besar kemunculan tokoh legendaries nabi Utusan Allah SWT yakni Nabi Khidir adalah diciptakan Allah dari perkataan “Qulhuwallah hu ahad” yang diambil dari Firman-Nya Surat Al Ikhlas kemudian menjelma menjadi Malaikat Bulkul lalu mewujud menjadi Malaikat Mulkul lalu menjadi Malaikat Malkan dan terakhir berwujud sebagai jasad manusia yang bijaksana bernama Nabi Khidir AS.

Tokoh Nabi Khidir AS bersemayam di Samudera luas dan bertemu Nasi Musa AS (pada zaman kerisalahannya membawa umat di negara Mesir) di sebuah tepi pantai di Laut Merah. Sedangkan Nabi Khidir AS ini dikemudian pada zaman abad millennium masuk ke dalam tokoh Abah Haji yang menitis ke dalam diri beliau setelah risalah kehidupan Abah Haji tewas terbunuh.

Secara hakekat bahwa Nabi Khidir AS diturunkan Allah SWT, untuk mentauhidkan Allah. Sedangkan kemunculan Nabi Khidir AS pada zaman Musa AS dan zaman sekarang untuk meluruskan risalah ajaran Nabi Muhammad SAW supaya manusia senantiasa bertauhid dan berijtihad di jalan Allah serta mencapai kemuliaan sebagai manusia dengan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi serta mendalami agama dan tidak mempelajari Alam Ghoib yang justru akan melemahkan kemuliaan manusia itu sendiri.

Walaupun Abah Haji masih merupakan seorang wali dengan ilmu spiritual yang tinggi maka tidak mungkin beliau menurunkan sembarang “ilmunya” kepada orang yang tidak jelas asal usulnya. Demikian juga pada saat kami berguru hanya terdapat seorang santri (penulis kitab) yang diajarkan ilmu Syariat. Murid tersebut dalam nasabnya berasal dari Tegal dimana tempat Embah Samedo hidup di pesisir Utara Pulau Jawa dalam menyiarkan agama Islam. Sedangkan kami berdua khusus diajarkan ilmu pada tingkatan yang lebih tinggi yaitu Torekat, Hakekat, dan sampai ke Ilmu Makrifat.

Silsilah mengenai Nabi Khidir AS riwayat penciptaan oleh Allah SWT dapat dilihat pada bagan sebagai berikut :



Gambar 2.5. Silsilah diciptakannya Nabi Khidir A.S.


Perjalanan Syeikh Mahfudin Titisan Nabi Khidir AS

Abah Haji berguru kepada Syeikh Jungkung pada tahun 1901. Selama enam tahunan Abah Haji diajarkan Ilmu Agama Islam dan Ilmu Tasawuf (ilmu penerangan atau cahaya hati untuk melihat dan terhindar dari permainan serta tipu daya siluman atau setan). Oleh karena beliau masih termasuk muda (umur 18 tahun) saat belajar, maka ketakjuban serta perasaan meluap tentang kehidupan manusia menimbulkan gejolak batinnya.

Setelah pulang dari berguru kemudian beliau pulang ke kampungnya di daerah Karawang. Sesampainya dikampung halamannya beliau bercerita kepada tokoh masyarakat bahwa pada masa yang akan datang akan terjadi kekacauan dan pertumpahan darah diantara warga masyarakat (yang tentunya telah nyata kejadiannya pasca reformasi). Namun akibat perkataan beliau tersebut dianggap menimbulkan fitnah dan kekhawatiran masyarakat, maka Abah Haji yang masih muda itu ditangkap dan disepakati untuk dibunuh.

Peristiwa pembunuhan tersebut terjadi pada sekitar tahun 1943 di Karawang. Beliau kemudian digelandang dan ditanam di tanah dengan kepala masih terlihat lalu ditaruh granat. Setelah tewas kemudian mayatnya dipotong-potong lalu dibuang ke sungai. Setelah seratus hari kemudian, Abah Haji Mahfudin Muda tiba-tiba muncul di daerah Kalisapu Cirebon. Disana beliau menetap dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar.

Demikianlah pada saat kemunculan beliau tidak terdapat luka fisik apapun bahkan tubuh beliau utuh dan dngan kulit sangat bersih (putih). Dengan kuasanya Allah SWT, Abah Haji muda yang mayatnya terpisah kemudian disempurnakan dan kemudian menitislah sosok Nabi Khidir AS ke dalam tubuhnya. Lakon Nabi Khidir AS pada zaman millennium ini dipersiapkan untuk mengantarkan pelaku sejarah baru dari keturunan Ratu Kidul dan Kanjeng Sunan Gunung Jati yakni pasangan Andini dan Sabilal untuk membantu manusia menegakkan Agama Islam sesuai Al Qur’an dan Hadits dan meninggalkan kitab Siluman yang menyesatkan (kemusyrikan) masyarakat dewasa ini.

Setelah beliau berusia kira-kira 40 tahunan, kembali pulang ke kampung halamannya bersama keluarganya di Desa Tegal Koneng, Karawang. Ketika beliau sudah sampai di tepi jalan raya yang terdapat pangkalan becak untuk minta diantarkan ke jalan menuju kampungnya, laki-laki tukang becak tersebut lari tunggang langgang. Kemudian Abah Haji menyapa orang kedua dan berkata “Saya Warta (Haji Mahfudin) tolong antarkan saya ke kampung”. Dengan mata berbelalak tukang becak itu juga kabur pontang panting seraya merasa ketakutan.

Akhirnya pada orang yang ketiga beliau memegang lengannya dan berkata dengan tatapan tajam seraya berkata “mamang tolong antarkan saya ke kampong, dan jangan takut karena saya ini Warta, nah lihatlah KTP saya ini”. Akhirnya orang ketiga ini yakin bahwa dihadapannya bukanlah “hantu” melainkan sosok Warta alias Haji Mahfudin. Sesampainya dirumah maka gemparlah warga sekampung. Namun seiring perjalanan waktu akhirnya masyarakat menerima juga.

Demikianlah kemudian pada masa puluhan tahun Abah Haji membuktikan dirinya sebagai tokoh masyarakat serta membantu sesama dalam hal pengobatan (ilmu ketabiban bertaraf spiritual tinggi).

Nabi Khidir Menelusuri Jejak Keturunan Wali

Setelah merasa cukup memberikan pengabaran kepada masyarakat di kampungnya daerah Karawang tentang kebenaran ajaran Islam maka Abah Haji (yang telah menitis nabi Khidir AS) yang bergelar Warta Budiman atau Pak Uang (karena sifat dermawannya), maka beliau berangkat ke Cirebon untuk bertemu seorang Syeikh keturunan Kanjeng Sunan Gunung Jati yakni Syekh Tolha. Tujuan beliau adalah mempelajari ilmu tarekat Qodoriah Wan Naqsabandiyah dari tokoh penyiar agama Islam Abad XVIII yakni Syeikh Tolha. Kemudian selanjutnya perguruan beliau lanjutkan pula kepada Syeikh Malawi (Putra Syeikh Tolha) yang juga tinggal di daerah Cirebon.

Dengan ilmu kewalian yang beliau miliki tersebut tidak pernah merasa dirinya lebih sakti dari manusia lainnya. Menurut beliau bahwa kata Sakti berarti dari kata Saking Ati- Ati atau disbut seorang itu sakti manakala selalu hati-hati dalam berkata dan bertingkah laku. Lebih lanjut dikatakan beliau bahwa bila kita seseorang telah memiliki ilmu yang tinggi hendaknya ia senantiasa rendah hati atau berlakulah sebagai ungkapan.

Sakti ora Keciri, Digjaya Ora Ketara

Atau berarti “Sakti janganlah diperlihatkan dan berlakulah seperti orang biasa”.

Seseorang dapat mencapai kebaikan bilamana menjalani hidup dengan penuh kebijaksanaan (kearifan). Manusia dapat mencapai kearifan bilamana melalui ketaatan beribadah kepada sang pencipta serta melaksanakan muamalah secara baik kepada makhluk lainnya di dunia. Ibadah tersebut meliputi Shalat 5 waktu, Puasa (Shaum) wajib bulan Ramadhan, puasa Senin-Kamis, Shalat Malam, bersedekah (berzakat) dan beramat soleh, serta berdoa dan berprasangka baik kepada Allah SWT. Selain itu hendaknya umat juga meninggalkan kemusrikan atau sesuatu ibadah dalam kategori bid’ah contohnya dengan ritual puasa yang tidak diajarkan oleh Rasulullah akan sangat menyesatkan ruhaniyah manusia secara lahiriyah terlihat dan berpakaian layaknya orang Soleh.

Kisah Perjalanan Hidup Abah Haji Mahfudin

Perjalanan Abah Haji secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut :

Pada tahun 1901 belajar kepada Syeikh Jungkung di Cirebon. Kemudian pada tahun 1901-1920 belajar Ilmu Torekat kepada Syeikh Tolha dan Syeikh Malawi Bin Tolha di Cirebon. Selanjutnya setahun kemudian yakni tahun 1921 berkelana ke kampong halamannya dan menetapdi Sukamandi, Subang. Pada tahun 1923-1950 mengembara untuk perjuangan negara ke Serang, Banten. Pada tahun itu juga 1950 berangkat haji ke Tanah Suci Makkah Al Mukaromah untuk menyempurnakan rukun Islamnya.

Setelah pulang dari tanah suci pada tahun 1957 beliau menetap di daerah Kampung Rambutan, Desa Solotide, Propinsi Batavia. Pada tahun 1970-1980 beliau berkelana sampai ke daerah Bogor yaitu parung panjang, Jasinga, dan juga daerah Bojong Gede, Depok. Kemudian pada akhir tahun 1980 beliau ke Timur jauh yakni Turki, lalu Mesir, Irak, dan terakhir di Iran pada saat pecah perang Saudara dua negara bertetangga Muslim saat itu.

Pada tahun 1990 setelah berakhirnya ketegangan antara irak dan iran, beliau kembali ke tanah air menyusuri Semenanjung Malaya, Pulau Sumatera, menyeberang ke Pulau Kalimantan (di pedalaman suku dayak) dan Sulawesi, kemudian menyeberang ke Pulau Lombok dan kembali ke Tanah Jawa melewati Pulau Dewata Bali. Dari Timur Pulau Jawa ke Jawa Tengah beliau menapak tilas Walisongo mulai dari Sunan Bonang, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Muria, dan Sunan Kudus. Pada tahun 1994 akhirnya beliau kembali ke keluarganya di Desa Tegal Koneng, Karawang.

Andini Bertemu Gurunya Nabi Khidir AS

Abah Haji Mahfudin menyempurnakan ilmunya Ilmu Tarekat Qadariyah Wan Naqsabandiyah pada tahun 1950-1970 di daerah Kalisapu, Cirebon dengan berguru terakhir kepada Syeikh Malawi bin Tolha, yang tak lain adalah Kakek dari suamiku Sabilal Bin Mughni. Sosialisasi dan hidup bermasyarakat beliau terakhir di daerah Karawang. Beliau menikah dengan Ibu Raminah pada tahun 1921 dan dikaruniai tiga orang anak. Ibu Raminah meninggal pada tahun 1973. Tahun 1974 beliau menikah kedua kalinya dengan Ibu Rumini dan tanpa dikaruniai seorang putra pun (setelah menitisnya Nabi Khidir AS). Istrinya Ibu Rumini meninggal pada tahun 1999.

Selama pengembaraan Abah Haji, sebenarnya beliau pernah bertemu dengan aku sendiri, tepatnya pada tahun 1983 di Pamijahan Tasikmalaya. Kala itu aku masih duduk di bangku SMP, dimana kami sekeluarga sedang berlibur ke tempat ziarah disana. Aku masih ingat ada seorang kakek tua berkulit bersih sedang mengawasiku dari dekat dan menguntit dibelakangku. Melalui telepati dan pertanyaanku secara batin kepada dayang-dayang pengiringku saat itu mereka memberitakan bahwa suatu saat nanti orang tua itulah yang akan membimbingku dan mengabarkan siapa sebenarnya jati diriku ini dan ada misi apakah dikemudian hari nantinya.

Pertemuanku kedua kalinya dengan beliau terjadi pada pertengahan tahun 2000. kala itu aku dan suamiku tengah menunggu lampu mereah diperempatan kawasan perkantoran di Jakara. Tiba-tiba ada seorang pengemis tua yang juga berkulit brsih menghampiri mobil kami dan meminta sedekah dengan sorot mata yang tajam. Herannya orang tua itu tidak meminta sedekah kepada mobil-mobil disekitar kami yang rata-rata adalah mobil mewah. Berarti hanya kami yang dimintai sedekah oleh orang tua itu ! (Dan itu dibenarkan oleh Abah Haji sembari tersipu-sipu ketika kami telah berguru kepadanya). Sejurus kemudian setelah lampu hijau semua kendaraan maju selangkah dan tiba-tiba orang tua tersebut pun hilang dari pandangan !.

Tepat pada bulan September tahun 2000 atas petunjuk dari Ziarah di makam Syeikh Quro, di Karawang, kami akhirnya bertemu dengan beliau dan diikrarkan menjadi murid beliau serta menjadi anak angkat beliau. Abah Haji kemudian mengganti namaku menjadi Andini Rohmah. Sebelumnya Nama yang ia berikan Siti Rohmah, namun Nenek Ratu Kidul protes dan tidak setuju bila nama Andini Naga Hijau dihilangkan, dan akhirnya atas kesepakatan dengan Abah Haji nama Islamku adalah Andini Rohmah.

Kami diajarkan Tarekat Qadariyah Wan Naqsabandiyah selama kurang lebih satu setengah tahun. Tingkatan ilmu yang kami pelajari adalah melalui ilmu syariat, thorekat, hakekat dan Makrifat. Kami sadari bahwa banyak orang yang belajar ilmu tarekat dari syarat langsung melompat ke ilmu hakekat dan makrikat, maka tidak heran banyak yang mengalami kegilaan karenanya.

Sosok Waliyullah dipanggil Allah SWT

Dua hari sebelumnya aku dan suamiku bersama kedua adik kami berkumpul di tempat Abah Haji untuk kunjungan silahturahmi setelah Hari Raya Idul Fitri saat itu bertepatan tanggal 10 Syawal 1422 H. Selama satu hari kami disana tidak ada tanda-tanda bahwa Abah Haji akan meninggalkan kami selama-lamanya. Kami mengobrol dan mengaji bersama-sama sampai pagi. Pada tanggal 11 Syawal siang harinya kami berangkat kembali pulang ke Jakarta.

Telepon berdering pada tanggal 12 pagi hari pukul 5 subuh, aku tersentak kaget dan menggapai gagang telepon, “Halo Asssalamu’alaikum ….. apa ? Abah ?...”, suaraku tercekat. Kemudian kabar duka kusampaikan kepada suamiku dan salah satu adik iparku untuk bersiap berangkat ke Karawang setelah Shalat Subuh. Sedangkan Adik Iparku yang lainnya menyusul dari Bogor.

Sesampainya kami berempat ke rumah duka, ku lihat Abah Haji telah terbujur, namun sepertinya beliau tersenyum layaknya orang tertidur pulas. Tubuhnya lemas seperti kapas, dan kulihat cahaya berkeliling di aura tubuhnya. “seperti demikianlah wafatnya orang Soleh….”, gumamku dalam hati. Air mataku berlinang, dan kesedihan ini sangat mendalam. Kerabat Keraton Kidul sudah hadir disekelilingku, ada Nenek Ratu Kidul, Bunda Nyai Rara Panas, Wak Nyai Blorong, dan para pepunden Tanah Jawa lainnya semuanya mengenakan pakaian kebesaran dengan warna serta hitam (kulihat dengan mata batin).

Nenek dan bunda menghampiriku, mereka berdua memeluk erat dan menghiburku agar tetap kuat untuk menjalankan misi Islam seperti yang telah diajarkan oleh Abah Haji. Namun aku selalu khawatir manakala guru kami sebagai jasad manusia itu telah pergi selamanya, dan walaupun keluarga Keraton Kidul akan membela dibelakangku yang pastinya perjuangan ini sangatlah berat. Selamat jalan Abah Haji Syeikh Mahfudin Bin Carban, guru kami, ayah angkat kami, kembalilah engkau di sisi Allah SWT sang penguasa alam semesta, disisiNya lah golongan orang Soleh kembali berpulang Kegenggam tangannya yang lembut, dan anehnya tidak terasa dingin seperti orang telah wafat. Namun kepergian itu telah aku ikhlaskan.

Beliau kemudian dimandikan, dikafani dan dimakamkan dibelakang rumahnya. Ketika Azan berkumandang jenazah Abah Haji dimasukkan ke liang lahat. Maka hilanglah perasaan berat ini melepaskan kepergiannya dengan air mata haru namun tetap tegar karena sudah cukup bekal pengetahuan yang diajarkan beliau.

Pada catatan in memoriam beliau tertulis kalimat denga nama dan gelar yakni :

· Abah Warta Uang

· Syeikh Haji Mahfudin

· Syeikh Jambu Mede

· Raden Jaka Bodo

· Sultan Warta Budiman

Wafat : Lahir :

Hari Jum’at Pahing Hari Sabtu Pahing

Tanggal 28 Desember 2001 M Tanggal 16 Hapit 1880 M

Ruangan Tafakur beliau ku lihat terdapat dua tugu masing-masing bersusun lima warna dasar (Ilmu Tarekat Qadariyah Wan Naqsabandiyah) yakni : hitam, hijau, kuning, putih dan merah. Pada puncak kedua tugu tersebut terdapat ornament burung Rajawali bernuansa lima warna tersebut.

Salah satu ilmu yang beliau ajarkan kepada aku dan suamiku serta menjadi penekanan untuk syiar agama islam adalah melalui ilmu ketabiban spiritual bertaraf tinggi. Pesan beliau agar kemampuan kami tersebut berguna bagi masyarakat serta agar jangan merasa paling benar karena kebenaran hanyalah berasal dari Allah SWT. Kami tidak diajarkan ilmu kekebalan atau kesaktian ilmu yang menyerupai ilmu sulap, namun amalan yang harus kami jalankan adalah Shalat lima waktu, shalat malam, bacaan zikir, membaca Al-Qur’an dan puasa wajib serta puasa sunah Senin-Kamis. Tingkatan ilmu tarekat kami akan semakin bertambah seiring dengan amalan-amalan soleh yang kami terus jalankan serta berbuat kebajikan hanya karena Allah SWT.

Akhirnya penjelasanku cukuplah sudah melengkapi berbagai riwayat atau cerita mengenai kemunculanku sebagai cucu Kanjeng Ratu Kidul berdampingan dengan ilmu kewalian dari Suamiku tercinta Sabilal Rasyad Mughni keturunan Kanjeng Sunan Gunung Jati. Untuk mempersembahkan amal kebajikan kepada semua umat Islam dimanapun berada. Wassalam.